topbella

Selasa, 27 April 2010

PPN Makanan Resto Diganti Pajak Pembangunan

Direktorat Jenderal Pajak menyatakan bahwa Kantor Pajak sudah tidak lagi memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk makanan dan minuman cepat saji di restoran dan rumah makan. Pemungutan ini sudah tidak dilakukan sejak Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) disahkan. "Kalau masih diterapkan itu salah, itu daerah yang memungut bukan kami," ujar Dirjen Pajak Mochammad Tjiptardjo di Kementerian Keuangan, Rabu, 14 April 2010.

PPN, kata dia, sudah tidak ada lagi (untuk makanan cepat saji) sejak lama, yakni tahun 2009 lalu. Pemungutan PPN di restoran semuanya sudah diserahkan ke daerah sesuai ketentuan UU PDRD.

Nama PPN pun diganti menjadi PB1 (pajak pembangunan satu), yang besarnya ditentukan oleh Peraturan Daerah (Perda) masing-masing. "Jadi, PB1 itu miliknya Pemda, namanya bukan PPN," kata Tjiptardjo.

Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) mengaku belum mengetahui pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) pada makanan dan minuman yang di antaranya disajikan di hotel, restoran, dan rumah makan.

Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 yang disahkan dan diundangkan pada 15 Oktober 2009 dalam pasal 4A ayat 2 di antaranya menyebutkan bahwa jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.

"Justru itu, banyak yang menanyakan soal ini," kata Ketua Umum GAPMMI Adhi S Lukman kepada VIVAnews di Jakarta.

Menurut dia, pada saat pembahasan undang-undang tentang PPN itu, GAPMMI hanya membicarakan mengenai pembebasan pajak untuk produk primer pertanian. "Kalau terkait itu (makanan dan minuman yang disajikan di restoran) saya belum tahu," ujarnya.

Sementara itu, manajemen PT Fastfood Indonesia Tbk, pengelola makanan cepat saji Kentucky Fried Chicken mengatakan belum mengetahui juga adanya pembebasan PPN untuk kategori makanan dan minuman yang disajikan di restoran.

"Kami selama ini membayar pajak restoran 10 persen sesuai ketentuan Perda," kata Direktur Fastfood Indonesia JD Juwono ketika dikonfirmasi VIVAnews.

Menurut dia, pihaknya belum mengetahui adanya ketentuan dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 tersebut. "Kami belum tahu itu," ujarnya.

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pajak Restoran, pasal 7 menyebutkan bahwa tarif pajak restoran sebesar 10 persen.

Sedangkan dalam pasal 3 menyebutkan objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan restoran dalam pembayaran. Dalam pasal 5 Perda itu juga menyebutkan subjek pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada restoran.

UU PPN Berlaku Mulai 1 April 2010

Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM) yang baru berlaku mulai 1 April 2010."Perlu aturan pelaksanaan, sosialisasi, dan lainnya sehingga pemerintah mengusulkan agar UU baru ini mulai berlaku 1 April 2010," kata Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam raker Pansus RUU PPN dan PPnBM DPR, di Jakarta, Senin (14/9). Raker Pansus PPN dan PPnBM kemarin mengagendakan pengambilan keputusan tingkat I terhadap RUU PPN dan PPnBM untuk dibahas di pembahasan tingkat II (pengambilan keputusan dalam rapat paripurna DPR).

Raker yang dipimpin Ketua Panitia Khusus (Pansus) Melchias Markus Mekeng, diawali dengan laporan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PPN dan PPnBM Vera Febyan-thy. Saat disampaikan laporan, Panja belum mengambil keputusan apakah akan memberlakukan UU baru mulai 1 Januari 2010 atau 1 April 2010. Namun kemudian, pemerintah mengusulkan mulai 1 April 2010.

Setelah 10 fraksi di Komisi XI DPR menyampaikan pendapat mini fraksi, Pansus menyetujui untuk membawa RUU itu pada pembahasan tingkat II yang dijadwalkan pada 16 September 2009.

Beberapa ketentuan dalam RUU itu antara lain bahwa dalam rangka pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan penyediaan sumber giziyang harganya terjangkau, maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar, dan buah segar, ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN.

Untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap suatu objek pajak yang sama juga disepakati objek tertentu yang sudah dikenai pajak daerah dikecualikan dari pengenaan PPN. Objek pajak dimaksud adalah barang hasil pertambangan galian c, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya, jasa perhotelan, serta jasa boga atau katering.

Selain itu, Panja DPR dan pemerintah menyepakati jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk perbankan syariah tidak dikenai PPN. Sedangkan, besaran tarif tertinggi PPnBM disepakati naik dari 75% menjadi 200%. Ini untuk memberi ruang kepada pemerintah dalam rangka melaksanakan regulasi.

Selain itu, barang yang jika dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, seperti miras, disepakati tidak lagi dikategorikan sebagai barang mewah, melainkan barang yang dikenai cukai.

Sementara itu, barang hasil pertanian yang dambil langsung dari sumbernya tetap sebagai barang kena pajak yang pengenaan PPN-nya akan menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan atau deemed pajak masukan.
Sumber : Investor Daily Indonesia  

Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional

Secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran PBI, yaitu :
1. Pembebasan/pengecualian ( exemption )
Metode ini berupaya untuk secara total mengeliminasi PBI. Metode tersebut menghendaki suatu Negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di Negara lain. Metode ini meliputi :
a. Pembebasan subjek, umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatic, konsuler, dan organisasi internasional. Para duta besar, anggota korps diplomatic dan konsuler, yang sesuai dengan hokum internasional, mendapat privelage pemajakan. Mereka hanya dikenakan pajak oleh Negara pengirimnya saja.
b. Pembebasan objek, yang lebih dikenal dnegan full exemption diberikan dengan mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan WPDN Negara tersebut. Karena penghasilan luar negeri dikeluarkan dari basis penghitungan pajka atas penghasilan global, maka secara wajar, kerugian juga dikeluarkan sebagai pengurang basis penghitungan pajak.
c. Pembebasan pajak ( tax ), pada prinsipnya penghasilan luar negeri dibebaskan dari pajak domestic, namun untuk keperluan penghitungan pajak pengaruh progresi penghasilan luar negeri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Apabila Negara residen memberlakukan tariff sepadan (proposional atau flat), maka pengaruh progresi tersebut adalah nihil. Progresi akan berpengaruh positif apabila penghasilan luar negeri negative, karena kerugian tersebut merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Hal ini merupakan salah satu perbedaan antara metode pembebasan penghasilan dengan pembebasan pajak. Pengaruh progresi aka efektif di Negara penganut tariff pajak progresif.

2. Kredit Pajak
Berbeda dengan metode eksemsi (yang mengeliminasi penghasilan luar negeri dari basis pengenaan atau pemajakan dengan memperhitungkan penghasilan terhadap pengahsilan income against income ), metode kredit memberikan keringan atau eliminasi PBI dengan cara mengkreditkan (mengurangkan atau mengimputasikan) pajak luar negeri terhadap pajak penghasilan global yang merupakan porsi penghasilan luar negeri.
Beberapa varian dari metode kredit, antara lain :
a. Kredit penuh, mengurangkan pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri sepenuhnya terhadap pajak domestic yang dialokasikan terhadap penghasilan dimaksud. Metode ini sangat jarang Negara yang memberlakukan metode kredit penuh.
b. Kredit pajak biasa, memberikan keringan pajak berganda internasional yang berupa pengurangan pajak luar negeri terhadap pajak nasioanl dnegan batasan jumlah yang terendah antara pajak domestic yang dialokasikan kepada penghasilan luar negeri dan pajak yang sebenarnya terutang atau dibayar di luar negeri atas penghasilan dimaksud yang termasuk dalam penghasilan global.

Penyebab Pajak Berganda Internasional

PBI muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi pemajakan baik yang melekat pada pemerintah pusat (Negara) maupun pemerintah daerah. Dengan demikian, benturan yurisdiksi pemajakan dalam format internasional (overlapping of tax jurisdiction in the internasional sphere). Menyebabkan PBI.
Dalam setiap pemajakan, setiap Negara berdaulat akan melaksanakan pemajakan terhadap subjek dan/atau objek yang mempunyai pertalian fiscal dengan Negara yang berada dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan ketentuan domestic. Kalau seandainya dalam ketentuan domestic dari Negara-negara pemungut pajak tersebut terdapat pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap subjek atau objek yang bertempat kedudukan atau berada di luar wilayah kedaulatannya maka tidak akan terjadi PBI.

Beberapa bentuk pajak berganda internasional
1. Pajak Penjualan
Walaupun hanya ditujukan terhadap peredaran dan konsumsi domestic, terdapat kemungkinan bahwa pajak penjualan ( peredaran dan pertambahan nilai ) dapat menimbulkan PBI. Hal itu dapat terjadi apabila dalam prinsip pemajakan Negara pengekspor menganut prinsip Negara asal (origin principle, pemajakan oleh Negara asal barang dan jasa ), sedangkan negara pengimpor menganut prinsip negara tujuan ( destination principle, pemajakan oleh negara tujuan sebagai pemanfaat barang dan jasa ). Namun, karena pemajakan atas transfer barang dan jasa, hampir semua Negara pemungut pajak penjualan menganut prinsip negara tujuan, maka tidak akan terjadi PBI dalam pajak tidak langsung.

2. Pajak Penghasilan
Dalam pemajakan ini, kita mengenal dua pendekatan kewajiban pajak, antara lain :
a. Kewajiban pajak tidak terbatas, merupakan resultat dari pemajakan berdasarkan pertalian subjektif yang dapat berupa nasionalitas atau tempat pendirian atau tempat kedudukan.
b. Kewajiban pajak terbatas, merupakan resultat dari pemajakan berdasarkan pertalian objektif yang dapat berupa lokasi aktivitas ekonomi dan sumber penghasilan .
Sehubungan dengan pajak penghasilan, PBI dapat terjadi karena benturan antarklaim, yaitu :
a. Pemajakan tak terbatas
b. Pemajakan tak dengan terbats
c. Pemajakan terbatas
Benturan antarklaim pemajakan tak terbatas dapat terjadi antarnegara penganut prinsip :
a. Nasionalitas, pada umumnya terjadi terhadap orang pribadi yang berada di Negara penganut temapt kelahiran dengan orang tua dari Negara penganut keturunan.
b. Nasionalitas dengan residensi, dapat terjadi baik pada wajib pajak orang pribadi maupun badan.
c. Residensi, terjadi pda orang pribadi yang mempunyai tempat tinggal di Negara penganut pemajakan berdasarkan asas domisili namun ia berada dalam waktu yang relative substansial di Negara penganut prinsip kehadiran substansial ( lebih dari 183 hari ).
Benturan tersebut terjadi apabila subjek pajak yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Negara penganut pemajakan global memperoleh penghasilan atau menjalankan aktivitas ekonomi juga memperoleh penghasilan dari Negara penganut klaim pemajakan terbatas, maka akan timbul PBI sebagai akibat benturan klaim pemajakan terbatas.
Ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan
Dalam ketentuan pemajakannya, UU PPh menganut pertalian subjektif/dan objektif. Pertalian subjektif prang pribadi ditentukan berdasarkan :
a. Tempat inggal ( di Indonesia )
b. Kehadiran/keberadaan ( di Indonesia lebih dari 183hari )
c. Niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
Pertalian subjektif badan ditentukan berdasarkan :
a. Tempat pendirian
b. Tempat kedudukan

PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL

Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Knechtle dalam bukunya yang berjudul ”Basic Problems in Internasional Fiscal Law” (1979) memberikan pembahasan secara rinci. . Knechtle membedakan pengertian pajak berganda, yaitu :
1. Secara Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal.
2. Secara Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya, pajak berganda sesuai dengan Negara ( yurisdiksi ) pemungut pajaknya, dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda :
1. Internal ( domestic )
2. Internasional
Dalam kedua kelompok tersebut terdapat pajak berganda vertical, horizontal dan diagonal (terutama dalam Negara yang berbentuk federal).

Beberapa unsur Pajak Berganda Internasional ( PBI )
Apabila pemajakan berganda ( multiple ) dilakukan oleh beberapa adminitrasi pajak ( berdasarkan yurisdiksi pemajakan domestic tiap Negara ) maka teradapat pajak berganda Internasional ( international double taxation ). Secara teoretis dan normative, istilah paja berganda internasional meliputi beberapa unsur, antara lain:
1. Pengenaan Pajak oleh beberapa otoritas pemajakan terhadap criteria identitas.
2. Identitas subjek pajak (Wajib Pajak yang sama)
3. Identitas objek pajak (objek yang sama)
4. Identitas masa pajak
5. Identitas (atau kesamaan) pajak

Beberapa tipe Pajak Berganda Internasional ( PBI )
1. Faktual dan potensial
2. Yuridis dan ekonomis
3. Langsung dan tidak langsung

Dampak dari Pajak Berganda Internasional ( PBI )
Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan sumber daya yang harus ditanggung oleh pengusaha (dan masyarakat). Pajak berganda sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan ( dari dua Negara ) memberikan tambahan beban terhadap pengusaha. Sementara, perluasan usaha ke mancanegara sudah mengundang tambahan resiko disbanding dengan usaha dalam negeri, pemajakan ganda telah memperbesar resiko tersebut. Kalau tidak ada upaya untuk mencegah atau meringankan beban pajak tersebut, PBI dapat ikut memicu ekonomi global dengan biaya tinggi. Oleh karena itu, nampak sudah merupakan kebutuhan Internasional antarnegara untuk mengupayakan agar kebijkana perpajakannya bersifat netral untuk mengupayakan agar kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi Internasional. Netralitas tersebut dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi terhadap PBI.

Metode Penghindaran Pajak Berganda (UN Model)

a. Metode kredit pajak (Credit Method)
Dua jenis pengkreditan dalam metode ini, yaitu:
1) Kredit pajak penuh (full credit)
Seluruh pajak yang dibayar di source country dapat dikurangkan seluruhnya.
2) Pengkreditan dengan pembatasan (ordinary credit)
Pajak yang dibayarkan di source country yang dapat dikurangkan dari pajak di resident country dibatasi dengan tarif tertentu.
Perhitungan batas kredit pajak yang diperkenankan:
§ Overall Limitation
clip_image001
§ Per Country Limitation
clip_image002
v Tax sparing
Insentif yang diberikan oleh resident country tempat pemegang saham berkedudukan berupa kredit pajak semu atau fictitious tax credit (pembebasan pajak), dimana di source country menerima tax holiday, berupa pembebasan pajak penghasilan atas laba badan dan dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham luar negeri.
v Underlying tax credit
Pajak yang dibayarkan oleh anak perusahaan di luar negeri yang dapat dikreditkan untuk keperluan perhitungan pengenaan pajak atas dividen yang dibagikan yang berasal dari laba.
v Matching credit
Penduduk dari satu negara maju dapat memperoleh kredit pajak dengan tarif penuh atas dividen yang diterima dari penduduk negara berkembang.
 
b. Metode pembebasan (Exemption Method)
Metode pembebasan pada dasarnya adalah penghasilan yang diperoleh di luar negeri (source country) tidak lagi dikenai pajak di negara domisili (resident country).
1) Pembebasan penuh
Mengabaikan penghasilan yang diperoleh dari luar negeri.
2) Pembebasan dengan progresi
Penghasilan dari luar negeri dipakai untuk keperluan perhitungan progresi tarif.

Senin, 26 April 2010

UJI ASUMSI KLASIK

Uji asumsi klasik adalah persyaratan statistik yang harus dipenuhi pada analisis regresi linear berganda yang berbasis ordinary least square (OLS). Jadi analisis regresi yang tidak berdasarkan OLS tidak memerlukan persyaratan asumsi klasik, misalnya regresi logistik atau regresi ordinal. Demikian juga tidak semua uji asumsi klasik harus dilakukan pada analisis regresi linear, misalnya uji multikolinearitas tidak dapat dipergunakan pada analisis regresi linear sederhana dan uji autokorelasi tidak perlu diterapkan pada data cross sectional.

Uji asumsi klasik juga tidak perlu dilakukan untuk analisis regresi linear yang bertujuan untuk menghitung nilai pada variabel tertentu. Misalnya nilai return saham yang dihitung dengan market model, atau market adjusted model. Perhitungan nilai return yang diharapkan dilakukan dengan persamaan regresi, tetapi tidak perlu diuji asumsi klasik.

Setidaknya ada lima uji asumsi klasik, yaitu uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, uji normalitas, uji autokorelasi dan uji linearitas. Tidak ada ketentuan yang pasti tentang urutan uji mana dulu yang harus dipenuhi. Analisis dapat dilakukan tergantung pada data yang ada. Sebagai contoh, dilakukan analisis terhadap semua uji asumsi klasik, lalu dilihat mana yang tidak memenuhi persyaratan. Kemudian dilakukan perbaikan pada uji tersebut, dan setelah memenuhi persyaratan, dilakukan pengujian pada uji yang lain.

1. Uji Normalitas
Uji normalitas adalah untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki nilai residual yang terdistribusi normal. Jadi uji normalitas bukan dilakukan pada masing-masing variabel tetapi pada nilai residualnya. Sering terjadi kesalahan yang jamak yaitu bahwa uji normalitas dilakukan pada masing-masing variabel. Hal ini tidak dilarang tetapi model regresi memerlukan normalitas pada nilai residualnya bukan pada masing-masing variabel penelitian.

Pengertian normal secara sederhana dapat dianalogikan dengan sebuah kelas. Dalam kelas siswa yang bodoh sekali dan pandai sekali jumlahnya hanya sedikit dan sebagian besar berada pada kategori sedang atau rata-rata. Jika kelas tersebut bodoh semua maka tidak normal, atau sekolah luar biasa. Dan sebaliknya jika suatu kelas banyak yang pandai maka kelas tersebut tidak normal atau merupakan kelas unggulan. Pengamatan data yang normal akan memberikan nilai ekstrim rendah dan ekstrim tinggi yang sedikit dan kebanyakan mengumpul di tengah. Demikian juga nilai rata-rata, modus dan median relatif dekat.

Uji normalitas dapat dilakukan dengan uji histogram, uji normal P Plot, uji Chi Square, Skewness dan Kurtosis atau uji Kolmogorov Smirnov. Tidak ada metode yang paling baik atau paling tepat. Tipsnya adalah bahwa pengujian dengan metode grafik sering menimbulkan perbedaan persepsi di antara beberapa pengamat, sehingga penggunaan uji normalitas dengan uji statistik bebas dari keragu-raguan, meskipun tidak ada jaminan bahwa pengujian dengan uji statistik lebih baik dari pada pengujian dengan metode grafik.

Jika residual tidak normal tetapi dekat dengan nilai kritis (misalnya signifikansi Kolmogorov Smirnov sebesar 0,049) maka dapat dicoba dengan metode lain yang mungkin memberikan justifikasi normal. Tetapi jika jauh dari nilai normal, maka dapat dilakukan beberapa langkah yaitu: melakukan transformasi data, melakukan trimming data outliers atau menambah data observasi. Transformasi dapat dilakukan ke dalam bentuk Logaritma natural, akar kuadrat, inverse, atau bentuk yang lain tergantung dari bentuk kurva normalnya, apakah condong ke kiri, ke kanan, mengumpul di tengah atau menyebar ke samping kanan dan kiri.

2. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas adalah untuk melihat ada atau tidaknya korelasi yang tinggi antara variabel-variabel bebas dalam suatu model regresi linear berganda. Jika ada korelasi yang tinggi di antara variabel-variabel bebasnya, maka hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikatnya menjadi terganggu. Sebagai ilustrasi, adalah model regresi dengan variabel bebasnya motivasi, kepemimpinan dan kepuasan kerja dengan variabel terikatnya adalah kinerja. Logika sederhananya adalah bahwa model tersebut untuk mencari pengaruh antara motivasi, kepemimpinan dan kepuasan kerja terhadap kinerja. Jadi tidak boleh ada korelasi yang tinggi antara motivasi dengan kepemimpinan, motivasi dengan kepuasan kerja atau antara kepemimpinan dengan kepuasan kerja.

Alat statistik yang sering dipergunakan untuk menguji gangguan multikolinearitas adalah dengan variance inflation factor (VIF), korelasi pearson antara variabel-variabel bebas, atau dengan melihat eigenvalues dan condition index (CI).

Beberapa alternatif cara untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah sebagai berikut:
1. Mengganti atau mengeluarkan variabel yang mempunyai korelasi yang tinggi.
2. Menambah jumlah observasi.
3. Mentransformasikan data ke dalam bentuk lain, misalnya logaritma natural, akar kuadrat atau bentuk first difference delta.
4. Dalam tingkat lanjut dapat digunakan metode regresi bayessian yang masih jarang sekali digunakan.

3. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas adalah untuk melihat apakah terdapat ketidaksamaan varians dari residual satu ke pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang memenuhi persyaratan adalah di mana terdapat kesamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap atau disebut homoskedastisitas.

Deteksi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode scatter plot dengan memplotkan nilai ZPRED (nilai prediksi) dengan SRESID (nilai residualnya). Model yang baik didapatkan jika tidak terdapat pola tertentu pada grafik, seperti mengumpul di tengah, menyempit kemudian melebar atau sebaliknya melebar kemudian menyempit. Uji statistik yang dapat digunakan adalah uji Glejser, uji Park atau uji White.

Beberapa alternatif solusi jika model menyalahi asumsi heteroskedastisitas adalah dengan mentransformasikan ke dalam bentuk logaritma, yang hanya dapat dilakukan jika semua data bernilai positif. Atau dapat juga dilakukan dengan membagi semua variabel dengan variabel yang mengalami gangguan heteroskedastisitas.

4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi adalah untuk melihat apakah terjadi korelasi antara suatu periode t dengan periode sebelumnya (t -1). Secara sederhana adalah bahwa analisis regresi adalah untuk melihat pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat, jadi tidak boleh ada korelasi antara observasi dengan data observasi sebelumnya. Sebagai contoh adalah pengaruh antara tingkat inflasi bulanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar. Data tingkat inflasi pada bulan tertentu, katakanlah bulan Februari, akan dipengaruhi oleh tingkat inflasi bulan Januari. Berarti terdapat gangguan autokorelasi pada model tersebut. Contoh lain, pengeluaran rutin dalam suatu rumah tangga. Ketika pada bulan Januari suatu keluarga mengeluarkan belanja bulanan yang relatif tinggi, maka tanpa ada pengaruh dari apapun, pengeluaran pada bulan Februari akan rendah.

Uji autokorelasi hanya dilakukan pada data time series (runtut waktu) dan tidak perlu dilakukan pada data cross section seperti pada kuesioner di mana pengukuran semua variabel dilakukan secara serempak pada saat yang bersamaan. Model regresi pada penelitian di Bursa Efek Indonesia di mana periodenya lebih dari satu tahun biasanya memerlukan uji autokorelasi.

Beberapa uji statistik yang sering dipergunakan adalah uji Durbin-Watson, uji dengan Run Test dan jika data observasi di atas 100 data sebaiknya menggunakan uji Lagrange Multiplier. Beberapa cara untuk menanggulangi masalah autokorelasi adalah dengan mentransformasikan data atau bisa juga dengan mengubah model regresi ke dalam bentuk persamaan beda umum (generalized difference equation). Selain itu juga dapat dilakukan dengan memasukkan variabel lag dari variabel terikatnya menjadi salah satu variabel bebas, sehingga data observasi menjadi berkurang 1.

5. Uji Linearitas
Uji linearitas dipergunakan untuk melihat apakah model yang dibangun mempunyai hubungan linear atau tidak. Uji ini jarang digunakan pada berbagai penelitian, karena biasanya model dibentuk berdasarkan telaah teoretis bahwa hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikatnya adalah linear. Hubungan antar variabel yang secara teori bukan merupakan hubungan linear sebenarnya sudah tidak dapat dianalisis dengan regresi linear, misalnya masalah elastisitas.

Jika ada hubungan antara dua variabel yang belum diketahui apakah linear atau tidak, uji linearitas tidak dapat digunakan untuk memberikan adjustment bahwa hubungan tersebut bersifat linear atau tidak. Uji linearitas digunakan untuk mengkonfirmasikan apakah sifat linear antara dua variabel yang diidentifikasikan secara teori sesuai atau tidak dengan hasil observasi yang ada. Uji linearitas dapat menggunakan uji Durbin-Watson, Ramsey Test atau uji Lagrange Multiplier.

Data, Fakta, Isu Kebijakan Akuntansi, dan Penyusunan Laporan Keuangan Sektor Publik

Dalam sektor komersial maupun pemerintahan terdapat empat jenis opini audit laporan keuangan, yang masing-masing memiliki arti dan indikator berbeda. Pertama, opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), adalah opini audit yang akan diterbitkan jika laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang bebas dari salah saji material. Kedua, opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), adalah opini audit yang diterbitkan jika sebagian besar informasi dalam laporan keuangan bebas dari salah saji material, kecuali untuk rekening atau item tertentu yang menjadi pengecualian. Ketiga, opini tidak wajar (adverse opinion), adalah opini audit yang diterbitkan jika laporan keuangan mengandung salah saji material, atau dengan kata lain laporan keuangan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Keempat, tidak memberikan pendapat (disclaimer).

Sebagian akuntan menganggap disclaimer bukanlah opini, dengan asumsi jika auditor menolak memberikan pendapat artinya tidak ada opini yang diberikan. Opini ini bisa diterbitkan jika auditor menganggap ada ruang lingkup audit yang dibatasi secara material oleh perusahaan/pemerintah yang diaudit, misalnya auditor tidak bisa memperoleh bukti-bukti audit yang dibutuhkan untuk bisa menyimpulkan dan menyatakan pendapat.

Sudah lima tahun berturut-turut yakni sejak 2004 sampai dengan 2008, BPK memberikan opini disclaimer (tidak memberikan pendapat) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Walaupun bukan satu-satunya indikator penilaian, namun harus dicatat, bahwa salah satu faktor yang menjadi perhatian utama investor di pasar modal sebelum berinvestasi adalah laporan keuangan perusahaan yang sudah diaudit dan diterbitkan opini audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Investor sangat bergantung pada opini audit dalam pengambilan keputusan investasi. Begitu juga dengan pemerintah, setiap tahun LKPP diaudit oleh BPK yang kemudian juga diterbitkan opini audit atas LKPP.

Ketua BPK Hadi Purnomo sebagaimana ditulis dalam http://www.kompas.com dalam beritanya pada tanggal 10 Juni 2009 yang diberi tajuk “Laporan Keuangan Pemerintah Disclaimer 5 Tahun Berturut-turut” mengakui saat audit LKPP menemukan tiga bidang kelemahan, yakni 1) sistem pengendalian intern atas penyajian LKPP, ketidak-patuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan pemerintah belum menindak lanjuti hasil pemeriksaan BPK 2004-2007.

Opini disclaimer BPK pada LKKP sudah barang tentu mencakup atau menggambarkan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Sebab, materi LKPP pun memuat pemanfaatan dan pengelolaan anggaran pembangunan di masing-masing daerah, dari provinsi hingga kabupaten. Kalau selama lima tahun terakhir LKPP jauh dari memuaskan, selama rentang waktu itu pula LKPD menyimpan masalah. Gambaran tentang LKPD ikut merefleksikan kualitas dan arah pembangunan daerah. Aspek inilah yang mestinya diperhitungkan pemerintah pusat, DPR serta DPD.

Bahwa pemanfaatan anggaran yang dialokasikan dan ditransfer ke pemerintah daerah masih jauh dari efektif tercermin pada isu tentang penempatan dana daerah di instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dana dari pusat yang ditransfer ke daerah itu tidak segera dimanfaatkan untuk membiayai atau merealisasikan proyek di daerah bersangkutan, tetapi ditempatkan di SBI untuk mendapatkan bunga. Saat ini jumlah dana daerah di SBI cenderung terus membesar. Publik belum tahu bagaimana mekanisme pertanggungjawaban dan pengawasan atas masalah ini, terutama penggunaan atas bunga yang didapat dari penempatan di SBI itu. Apakah pengelolaan bunga dari SBI, serta pemanfaatannya, masuk dalam LKPD?

Sumber masalah ini, tidak seluruhnya dari daerah. Pemerintah pusat pun punya andil. Kalau disiplin anggaran dilaksanakan secara konsisten, kualitas LKPD maupun LKPP pasti akan membaik secara bertahap. Artinya, penegakan disiplin pengelolaan keuangan di pusat dan daerah harus dilaksanakan secara serentak. Kalau pusatnya konsisten dan tanpa kompromi, daerah pasti tak berani neko-neko. Kalau pusatnya kompromistis, daerah akan terangsang untuk melanggar prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran pembangunan.

Jika pemda tidak bisa mengelola dan memanfaatkan anggaran pembangunannya dengan efektif dan tepat sasaran, pusat harusnya tegas. Mintakan pertanggungjawabannya. Kalau daerah gagal membuat pertanggungjawaban, pusat harus memberi ganjaran. Misalnya, tidak begitu saja menyetujui semua usulan proyek baru yang digagas pemda untuk tahun anggaran berikutnya. Pemerintah dan DPR pun sudah sepantasnya mulai meragukan kapabilitas pemda jika terus-menerus menempatkan anggaran pembangunan di SBI.

Semenjak ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, otonomi daerah tidak lagi menjadi semu. Dengan otonomi ini maka daerah diberikan kewenangan yang luas untuk mengurus rumah-tangga nya sendiri tanpa campur tangan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah. Namun dengan demikian bukan berarti pemerintah daerah dapat menggunakan sumber-sumber daerahnya dengan sewenang-wenang karena hak dan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah pada hakekatnya adalah merupakan amanah yang harus dipertanggung-jawaban secara akuntabel dan transparan baik kepada masyarakat di daerah maupun pemerintah pusat.

Otonomi daerah juga diikuti oleh reformasi di bidang keuangan negara dengan di tetapkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, sehingga pemerintah daerah mempunyai landasan hukum yang memadai dan andal untuk melakukan reformasi manajemen keuangan daerah. Selanjutnya, dalam tahun 2004 ditetapkan pula Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang no 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintahan pusat dan daerah sebagai pengganti UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999.

Tidak hanya sampai di situ, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa pemerintah daerah berkewajiban menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaporan pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk neraca, laporan arus kas, laporan realisasi anggaran dan catatan atas laporan keuanganm yang disusun dan disajikan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah.

Standar Akuntansi yang dibangun sebagai upaya menciptakan transparasi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, yang ujung-ujungnya adalah opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK. Dalam tataran operasional, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang kemudian diperbaiki dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007.

Pada Intinya semua peraturan tersebut menginginkan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Namun, hingga kini setelah berlakunya paket kebijakan tersebut, hampir belum ada kemajuan signifikan dalam peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan Negara/Daerah. Dalam siaran persnya tanggal 23 Juni 2008, BPK RI menjelaskan bahwa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dalam tiga tahun terakhir secara umum masih buruk. Kondisi ini semakin memburuk, sebagaimana di ungkapkan dalam siaran pers BPK RI pada tanggal 15 Oktober 2008 yaitu, dilihat dari persentase LKPD yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) selama periode 2004-2007 semakin menurun setiap tahunnya. Persentase LKPD yang mendapatkan opini WTP semakin berkurang dari 7% pada tahun 2004 menjadi 5% pada tahun berikutnya dan hanya 1% pada tahun 2006 dan 2007. Sebaliknya, LKPD dengan opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) semakin meningkat dari 2% pada tahun 2004 menjadi 17% pada tahun 2007 dan pada periode yang sama opini Tidak Wajar (TW) naik dari 3% menjadi 19%.

Untuk laporan keuangan tahun anggaran 2008, dari 293 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), 8 pemda diberikan opini WTP (2,73%), 217 pemda opini WDP (74,06%), 21 pemda opini TW ( 7,16%), dan 47 opini disclaimer atau tidak memberikan pendapat (16,04%). Opini WTP diperoleh kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Muko-muko, Kabupaten Tangerang, Kota Banda Aceh, Kota Lhokseumawe, Kota Pariaman, dan Kota Tangerang.

Khusus kondisi hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK RI pada kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2008 terlihat seperti tabel berikut ini:

Ringkasan Opini Hasil Pemeriksaan Atas
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
Tahun Anggaran 2008
Di Lingkungan Provinsi Jawa Timur

No
Entitas
Tanggal Penyerahan Hasil Pemeriksaan
Opini
1
Kabupaten Pacitan
18 Mei 2009
WDP
2
Kabupaten Tuban
13 Mei 2009
WDP
3
Kabupaten Jombang
4 Mei 2009
WDP
4
Kabupaten Bangkalan
18 Mei 2009
WDP
5
Kabuapten Mojokerto
4 Mei 2009
WDP
6
Kabupaten Pasuruan
4 Mei 2009
WDP
7
Kabupaten Bondowoso
18 Mei 2009
WDP
8
Kota Malang
18 Mei 2009
WDP
9
Kabupaten Tulungagung
4 Mei 2009
WDP
10
Kabupaten Malang
15 Juni 2009
WDP
11
Kabupaten Probolinggo
4 Mei 2009
WDP
12
Kabupaten Magetan
18 Mei 2009
WDP
13
Kabupaten Madiun
4 Mei 2009
WDP
14
Kabupaten Ngawi
4 Mei 2009
WDP
15
Kota Probolinggo
18 Mei 2009
WDP
16
Kabupaten Nganjuk
18 Mei 2009
WDP
17
Provinsi Jawa Timur
18 Juni 2009
WDP
18
Kabupaten Situbundo
17 Juni 2009
TW
19
Kabupaten Lumajang
18 Juni 2009
WDP
20
Kabupaten Lamongan
18 Juni 2009
WDP
21
Kota Surabaya
22 Juni 2009
Disclaimer
22
Kabupaten Sampang
22 Juni 2009
TW
23
Kabupaten Gresik
30 Juni 2009
WDP
24
Kabupaten Pamekasan
30 Juni 2009
WDP
25
Kota Madiun
30 Juni 2009
WDP
26
Kota Blitar
30 Juni 2009
WDP
27
Kabupaten Ponorogo
30 Juni 2009
Disclaimer
28
Kabupaten trenggalek
30 Juni 2009
Disclaimer
29
Kota Batu
30 Juni 2009
Disclaimer
30
Kabupaten Pasuruan
30 Juni 2009
Disclaimer
31
Kabupaten Kediri
30 Juni 2009
WDP
32
Kota Kediri
30 Juni 2009
TW
33
Kabupaten Banyuwangi
30 Juni 2008
Disclaimer
34
Kabupaten Blitar
30 Juni 2008
WDP
35
Kabupaten Sumenep
30 Juni 2008
WDP
36
Kabupaten Jember
30 Juni 2008
TW
37
Kabupaten Bojonegoro
30 Juni 2008
TW
38
Kota Mojokerto
30 Juni 2008
WDP
39
Kabupaten Sidoarjo
30 Juni 2008
WDP

Dari laporan hasil pemeriksaan tersebut 28 kabupaten/kota memperoleh opini WDP, 5 kabupaten/kota memperoleh opini TW, dan 6 kabupaten/kota memperoleh opini disclaimer. Memang tidak mudah bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan opini WTP dari tim audit BPK, namun kondisi buruk ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada semangat dari pemerintah daerah untuk memperbaiki kualitas laporan keuangan yang dihasilkan dimasa yang akan datang.

Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah

Penyelenggaraan pemerintahan di daerah perlu didukung dengan sistem pengelolaan keuangan yang cepat, tepat, dan akurat.

Pembaharuan peraturan tentang pengelolaan keuangan daerah ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan ditindaklanjuti dengan adanya petunjuk teknis pelaksanaan PP 58/2005 dengan disahkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada akhir tahun 2007 Depdagri juga telah mengeluarkan Permendagri 59 Tahun 2007 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) mengacu pada PP 58 tahun 2005 dan Permendagri 13 tahun 2006 dan Permendagri 59 Tahun 2007. Sistem ini berbasis pada jaringan komputer, yang mampu menghubungkan dan mampu menangani konsolidasi data antara SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dengan SKPKD (Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah), sehingga data di Pemerintah Daerah dapat terintegrasi dengan baik.

SIKD 2007 mampu menangani proses pengelolaan keuangan daerah, mulai dari perencanaan, penyusunan anggaran, sampai dengan pelaporan keuangan daerah. SIKD 2007 terdiri dari beberapa modul yang merupakan satu kesatuan. Modul-modul aplikasi yang ada pada SIKD adalah sebagai berikut:

Modul Perencanaan dan Penganggaran

1. Penyusunan KUA (Kebijakan Umum APBD) dan PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara)
2. Penyusunan RKA-SKPD (Rencana Kerja dan Anggaran SKPD)
3. Penyusunan APBD

Modul Pelaksanaan dan Penatausahaan APBD

1. Penyusunan DPA-SKPD (Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD)
2. Penerbitan Surat Penyediaan Dana (SPD)
3. Penerbitan Surat Permintaan Pembayaran (SPP), terdiri dari SPP-GU, SPP-TU, SPP-UP, SPP-LS
4. Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM)
5. Penerbitan SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana)

Modul Akuntansi dan Pelaporan

1. Akuntansi SKPD
2. Laporan Keuangan SKPD
3. Akuntansi SKPKD
4. Laporan Keuangan Pemda

Modul Perubahan APBD

1. Penyusunan KUA dan PPAS perubahan APBD
2. Penyusunan RKA-SKPD untuk perubahan APBD
3. Penyusunan Rancangan DPPA-SKPD (Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran SKPD)

SIKD adalah produk yang merupakan kelanjutan pengembangan dari NEOKEUDA-SAKD (Sistem Akuntansi Keuangan Daerah, mengacu pada Kepmendagri 29 tahun 2002), yang telah berhasil diimplementasikan di beberapa Pemerintah Daerah. SIKD saat ini telah berhasil diimplementasikan di beberapa Pemerintah Daerah.
Foto Saya
QUEEN VIDYA
Blog ini berisi kumpulan repost dari situs lain yang menurutku unik, menarik, n bermanfaat, semoga kalian suka...
Lihat profil lengkapku